Skip to main content

Tumpukan hambatan pendidikan Papua menjadi fokus pusat



Christian Sohilait, Direktur Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Provinsi Papua, mengimbau Komite X DPR RI untuk membantu memperjuangkan pendidikan di Papua kepada pemerintah pusat. 

Dalam rapat konsultasi dengan Komisi X di Kompleks DPR/MPR Jakarta, Selasa (23 Maret), Christian mengungkapkan sejumlah persoalan pendidikan di Papua, yang menurutnya berulang kali dibantah pemerintah pusat. 

“Pemerintah daerah (provinsi Papua) tergantung pada Anda. Ini yang kita minta sekarang, kita selesaikan masalah guru ini,” ujarnya di hadapan para pimpinan dan anggota Komisi X. 

Christian dengan lantang membeberkan berbagai masalah pendidikan di Papua yang terdiri dari masalah kesejahteraan dan kesejahteraan. guru, jaminan, minimnya sarana dan prasarana, konflik sosial terkait siswa.

Ia mengatakan pendidikan orang Papua jauh tertinggal bagian pulau lain, misalnya dalam kasus guru, ia berbicara tentang perjuangan guru Papua menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan kondisi sosial dan kemiskinan yang mereka alami.

"Selesailah mereka sebagai warga negara. hamba, terima kasih Tuhan mereka setengah mati. Tapi kami tidak membicarakan di mana mereka tinggal. Bagaimana mereka bekerja. Apakah mereka aman di sana atau tidak," katanya. 

Menurut Christian, konflik antara aparat keamanan dengan Gerakan Papua Merdeka (OPM) dan komunitas lain sangat mempengaruhi keamanan dan arus pendidikan. 

Dia mengungkapkan v. Nduga Kabupaten memiliki 4.000 siswa yang putus sekolah selama 2 tahun 8 bulan akibat konflik. Hal yang sama juga ditemukan di Kabupaten Intan Jaya. 

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak dapat dilakukan di 64% Papua karena tidak ada Internet. Christian mengatakan, saat daerah lain melakukan pembelajaran online selama pandemi Covid-19, siswa di Papua terpaksa belajar secara offline. 

Ia mengatakan kebijakan kuota gratis yang ditawarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhirnya tidak berguna di sebagian besar wilayah Papua yang tidak memiliki koneksi internet. 

Seiring dengan kondisi tersebut, ia juga mengeluhkan beberapa kebijakan pemerintah yang sangat bergantung pada penyelenggaraan pembelajaran internet. Seperti Ujian Nasional (AN) bukan Ujian Nasional (UN) yang berbasis komputer. 

Di sisi lain, Papua masih berjuang untuk infrastruktur paling dasar. Christian mengatakan dia menemukan seorang guru yang datang ke kantornya dengan amplop untuk meminta toilet. 

“Satu sekolah ada lima guru. Kemudian, satu guru ke gubernur, satu lobi ke Kadisdik, satu lobi ke DPR, satu lobi ke orang lain, hanya meminta toilet atau ruang kelas atau buku. Kemudian mereka putus sekolah," katanya dengan frustrasi. "Itu bukan pekerjaan mereka, tapi hari ini mereka mengambil alih. Ini tugas kita, karena infrastruktur juga terlibat," imbuhnya.) dan 3.527 guru honorer. Ia meminta gaji dan tunjangan guru dibiayai negara. 

ia menekankan bahwa permintaan itu tidak bisa ditawar. Pasalnya, pemerintah mengeluarkan Perpres No. 9/2020 tentang Promosi Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. 

“Jika Inpres 9/2020 tentang Kemajuan Papua dan Papua Barat baru berumur empat tahun, maka sebenarnya Papua tidak boleh memikirkan apa pun untuk mempercepat pembangunan”, tegas Christian.

Comments